in

SenangSenang KerenKeren KagetKaget SedihSedih TakutTakut

Dongeng Anak – Cahaya Bulan

Dongeng Anak - Cahaya Bulan
Dongeng Anak - Cahaya Bulan

Dongeng Anak – Cahaya Bulan. “Via! Ssst… Kamu sudah tidur, ya?” sapa Cecilia, tetanggaku. Aku memanggilnya Lia. Rumahnya tepat di samping kanan panti asuhan yang kutinggali saat ini. Pengurus panti asuhan sudah tidur. Lebih baik aku membuka jendela. “Ah, Lia! Ada apa?” bisikku. “Ikut aku,” Lia tersenyum. “Ke mana, Li?” tanyaku. “Aku selalu penasaran dengan suatu tempat,” jawab Lia. “Lalu…” belum selesai menjawab, Lia menarik tanganku keluar jendela.

Lia memang seorang musisi dan penyair terkenal. Salah satu yang kukhawatirkan adalah penjaga-penjaganya mendatangiku. Lia adalah anak yang ceria dan mau berteman dengan siapapun, namun katanya sih aku paling spesial menurutnya. “Li! Kita mau ke mana?” aku mencoba melepaskan genggaman tangannya. “Kamu tahu bulan, kan?” tanya Lia. “Tahu dong,” jawabku. “Aku mau ke bulan!” katanya. Aku tidak paham. “Maksudnya kamu mau jadi astronot?” aku terkejut. Lia tidak mendengar. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah mendesah seperti biasa.

Aku mulai curiga. “Lia, kok tidak sampai-sampai, sih?” tanyaku. “Sebentar!” jawabnya dengan agak kesal. Selanjutnya kami menyebrang jalan. Lia terlihat benar-benar hati-hati. “Hei, ini pukul 12 malam. Kamu tidak perlu pelan-pelan begitu,” tawaku. “Olivia, awaaaas!” seru Lia kencang.

Semua berjalan begitu cepat. “Kita sampai di Cahaya Bulan,” Lia menunjukkan tempat itu. “A-ajaib,” pujiku. Aku tidak pernah pergi ke tempat itu sebelumnya. Ternyata maksud Lia adalah sebuah taman penuh keajaiban. “M-mengapa nama tempat ini dinamakan sebagai Cahaya Bulan?” tanyaku. “Ini mirip seperti bulan dan cahayanya. Orang-orang tepatnya astronot hanya pernah pergi ke bulan, namun belum pernah pergi ke cahaya bulan. Ini sebuah taman rahasia. Semua orang pernah pergi ke taman, namun bukan taman semacam ini,” jelas Lia. Aku mulai melangkah pelan.

Tempat itu aneh dan tidak ada akhirnya. Ikan BERDIRI TEGAK di atas dedaunan, sedangkan tupai sibuk berenang-renang di dalam air. “Air ini dalam?” tanyaku sambil ancang-ancang menyelam. Lia cepat-cepat menarik tanganku. “Jangan! Kalau kamu mau menyentuh, mengambil, berenang, atau bahkan mungkin menyelam di sini, seluruh Cahaya Bulan akan membeku dan kamu tidak dapat keluar dari sini,” kata Lia. “Setahuku ada banyak cara untuk menguasai taman ini dan tetap keluar dengan selamat,” seorang kakek tua menghampiri kami. “Bagaimana, Kek?” tanya Lia dengan bingung. “Ada di dalam buku, namun itu tersembunyi sejak Bumi mulai rusak,” jawab sang kakek. “Kenapa?” Lia semakin bingung. “Bumi dan Bulan merupakan sahabat. Jika Bumi sedih, Bulan ikut sedih. Bumi rusak, Bulan pun ikut rusak dan cahayanya pudar. Begitu saja,” sang Kakek menjelaskan. “O ya, Kek! Kata Lia tidak boleh berenang di dalam air, tapi mengapa tupai-tupai itu bisa berenang di dalamnya?” aku juga bertanya. “Tupai bukanlah manusia yang merusak Bumi. Bulan benci kepada semua manusia karena kebanyakan sudah merusak sahabatnya,” Kakek itu mengambil seekor tupai imut. “Ambil ini. Peliharalah dia dan jadikanlah dia sahabatmu. Pasti, Bulan dan manusia akan berdamai,” kata sang Kakek. Kami berterimakasih, lalu pergi melanjutkan perjalanan panjang kami. “Jangan lupa, di dalam taman ini ada seorang penjaga Bulan yang membenci… Manusia. Buktikanlah kalian orang baik-baik,” pesan sang Kakek. “Baik!” kata Lia dan aku serempak.

Kami berjalan lebih dalam. “Hahaha, manusia lagi?” tawa seorang perempuan yang cantik jelita. “Permisi…” ucapku sambil tersenyum. “Kami datang ke sini secara baik-baik dan tidak bermaksud merusak Bumi. Kami tidak mau Cahaya Bulan menjadi redup,” kata Lia. “Tidak kusangka ada manusia yang sopan. Buktikanlah, kamu mau apa?” tanya perempuan itu. “Kami hanya ingin melihat apa yang ada di dalam sini dan memelihara beberapa makhluk hidup,” jawabku. “Baguslah, beberapa orang yang kemari sebelumnya tidak dapat lolos karena menyakiti sahabatku dan aku. Akan kujelaskan. Kalau tidak ada Bumi, aku bukan siapa-siapa dan aku akan sedih. Karena itu cahaya cantikku akan redup. Jadi, jika kalian akan merusak tempat ini, kalian tidak akan lolos. Aku kan juga menumpang di Bumi, maka aku ikut rusak,” katanya. “Siapa namamu?” Lia mengelusnya. “Aku Luna. Kalian?” tanya Luna kembali. “Aku Olivia, kau bisa memanggilku Via. Ini temanku, Cecilia. Aku memanggilnya Lia,” jawabku. Luna tersenyum kecil. “Aku akan mengantar kalian kembali, tapi berjanjilah untuk menjaga Bumi,” kata Luna. Kami mengangguk. “Ambil kalung ini. Simpan dan kalau bisa jangan hilangkan ya,” Luna memberi kami kalung yang indah dan cantik. “Lunamoon Larissa Selene!” seru Luna cukup keras. Syuuu… Terdengar bunyi angin yang cukup keras.

Aku membuka mataku perlahan. “Ah, Via! Maafkan aku ya, karena aku kamu jadi tertabrak,” kata Lia. “Aduh Via, sekarang kamu paham kan mengapa Kakak melarangmu pergi malam-malam?” penjaga panti asuhan terlihat khawatir. “K-kalungnya?” tanyaku. “Kalung? Ah iya, tiba-tiba saat kamu sadar secara ajaib ada kalung putih yang anggun di leherku,” Lia memamerkan kalung itu. Aku merogoh-rogoh saku. Kalung itu! Jadi… Itu mimpi atau bukan?!

Yah, aku tetap tidak tahu itu mimpi atau bukan, yang jelas aku akan selalu menjaga Bumi tercinta. Di panti asuhan juga sudah ada tempat berkebun kecil. Aku merawat tanaman-tanaman itu secara teratur.

Baca:
Cara membuat cerita sedih
Cerita anak tentang Nelayan
Aku ingin menjadi penulis cilik
Aku ingin punya teman – Part 1

Suatu hari, ada kejadian aneh. Mungkin Luna berusaha membuatku semakin ingat kepadanya. Tahukah kamu? Ada tupai berenang di kolam ikan! Hihihi, lucunyaaa! Aku berusaha mengangkat tupai kecil itu. Tupainya juga penurut. “Bolehkah kupelihara, Kak?” tanyaku kepada penjaga panti asuhan. Nama penjaga panti asuhan itu adalah Kak Vivi. Beliau baik dan feminin, jadi tentu beliau mengatakan… “Tentu saja, asalkan dipelihara dengan baik, ya!”

Kamu juga bisa mengirim tulisan seperti ini. Yuk, Buat Sekarang!

Yuk tulis komentar kamu