in

SenangSenang SedihSedih KerenKeren KagetKaget NgakakNgakak TakutTakut

Gelang Persahabatan

Gelang Persahabatan
Gelang Persahabatan

Menjelang kenaikan kelas. Dina, Arin, dan Nia belajar dengan sungguh-sungguh. Untung menghadapi ulangan. Mereka mengharapkan nilai yang terbaik.
“Din, Rin, nanti buat gelang persahabatan yuk!” ajak Nia.
“Boleh, tapi, aku enggak tahu caranya” ujar Dina.
“Aku juga” tambah Arin.
“Nanti aku ajarkan. Tapi, kita selesaikan dulu belajarnya!” ucap Nia.
“Baik, bos!” balas mereka. Nia sedikit tertawa.
Tak lama kemudian, mereka pun selesai mengerjakan tugas dari wali kelas.
“Baiklah, Din, bisakah kamu ambilkan benang yang ada diatas meja belajarku?” tanya Nia.
“Baiklah!” Dina pun mengambil benang yang berada di atas meja belajar Nia.
“Ini benangnya” ucap Dina sambil menyerahkan benang-benang.
“Terima kasih!”
“Sama-sama”
“Nah, pegang benangnya. Lalu…bla…bla…bla…bla…” Nia mengajarkan kedua sahabatnya itu cara membuat gelang persahabatan.
“Fiyuuuh…akhirnya jadi” ucap Arin.
Mereka pun segera memakai gelang buatan teman mereka. Dina memakai gelang buatan Arin, Arin memakai gelang buatan Nia, sedangkan Nia memakai gelang buatan Dina. Mereka berjanji, akan selalu bersama, selamanya.
Seminggu kemudian…
“Waah, akhirnya ulangan selesai juga ya, Din, Rin!” ujar Nia. Mereka mengangguk.
“Lega rasanya. Berarti, kita sudah menginjak kelas 6 SD dong!” ucap Dina.
“Wah, iya,ya. Enggak kerasa” tambah Arin.
“Eh, main yuk!” ajak Nia tiba-tiba.
“Boleh, tapi…main dimana?” tanya Arin. Mereka pun berpikir.
“Bagaimana kalau ditaman?” usul Arin. Nia dan Dina mengangguk setuju.
Ketiganya lalu pulang, untuk mengganti seragam sekolah, menjadi baju kaos yang biasa dipakai untuk bermain. Setelah itu, mereka pergi bersama menuju taman.
“Ehm, mau main apa nih?” tanya Nia.
“Bagaimana kalau kita main kejar-kejaran. Mumpung tidak terlalu panas!” usul Dina.
“Baiklah…” Nia dan Arin menyetujui usul Dina. Tiba-tiba, suara handphone Arin berbunyi.
“Teman-teman, aku permisi dulu ya, mau angkat telepon” ujar Arin. Nia dan Dina mengangguk.
“Halo?” ucap Arin.
“Halo, ini dengan Arin? Ini Tante Mirna” balas seseorang yang ternyata Tante Mirna, tantenya Arin.
“Oh, Tante. Ada apa, Tan?” tanya Arin.
“Begini Rin, maaf jika ini melukai hatimu. Tapi, kamu harus pulang” jawab Tante Mirna.
“Hah!? Tapi, kenapa!? Ada sesuatu yang terjadi dengan Ibu? Atau…” kalimat Arin terpotong oleh kalmia Tante Mirna.
“Maaf banget, Ibumu baru saja pulang dari rumah sakit. Dia terkena…” Tante Mirna enggan meneruskan kalimatnya.
“Terkena apa, Tan?” Arin sekarang benar-benar gelisah.
“Terkena kanker rahim, Rin. Ibumu ingin kamu datang kepelukannya. Lagipula, ini hari libur kan? Kau bisa meninggalkan sahabatmu untuk sebentar… ” jelas Tante Mirna.
“Ta…tapi…”
“Arin, Ibumu sedang membutuhkanmu, Sayang. Tolong, segeralah pulang…” ucapnya.
“Ba…baiklah”
Tut…tut…tut…tut…
Percakapan antara Arin dan Tante Mirna terputus. Arin berjalan menuju Dina dan Nia. Mencoba menjelaskan keadaan saat ini. Arin memang tinggal jauh dari kedua orangtuanya. Arin bersekolah di dekat rumah Om dan Tante dari Ayahnya yang sudah meninggal. Ibunya sendiri yang menyarankannya sekolah jauh dari rumah.
“Nia, Dina. Besok, aku harus pulang” ucapnya.
“Pulang kemana?” tanya Nia.
“Aku harus pulang ke rumahku. Ibuku menunggu kehadiranku” jawab Arin lesu.
“Hahaha…kamu pasti bercandakan, Rin?” tanya Dina tidak percaya.
‘Aku tidak bercanda”
“Tapi, ini hari libur”
“Aku sedih, kamu harus pulang, Rin”
“Aku juga sedih. Tapi, kalian harus janji ya, tidak boleh bersedih saat aku tidak bersama dengan kalian. Kalian harus janji ya!” ujar Arin.
“Baik!” balas Nia dan Dina.
“Aku pegang omongan kalian, dengan gelang persahabatan ini!” mereka bertiga lalu menangis ditengah sinar matahari di sore hari.
Esoknya di terminal…
“Hati-hati ya, Rin!” sahut Tante dan Omnya.
“Terima kasih, Tan, Om!”
“Kamu enggak boleh nge-lupain kami lho, Rin!” ujar Nia dengan air mata yang mengalir deras.
“Kalian juga ya!” balas Arin lalu tersenyum.
Tak lama kemudian, Arin menghilang dari hadapan mereka.
4 tahun kemudian…
“Ayo cepat, Din!” teriak Nia.
“Iya, sebentar”
“Duh, nanti Arin keburu pergi!”
“Iya, iya. Nah, sudah siap!”
Mereka sudah resmin menjadi murid kelas 1 SMA. Ya, mereka sudah sangat besar. Selama 4 tahun itu, Arin tidak ada kabar. Baru saat ini, Arin mengabari mereka semua. Katanya, ia akan bersekolah bersama kedua sahabatnya itu. Arin menunggu Dina dan Nia di taman.
Seorang anak perempuan, rambut lurusnya terlihat berwarna hitam mengilap, dibiarkannya terurai. Itu pasti Arin, batin Nia. Benar saja, Arin telah menunggu mereka. Mereka berpelukan, lalu segera bercepika-cepiki dengan ria.
“Kamu kok, enggak ngebarin kita sih… Eh, keadaan Ibu bagaimana?” tanya Dina mengawali percakapan.
“Hehehe, maaf ya, habis, aku sibuk sama tugas sekolah. Aku disuruh sekolah disana, sambil merawat Ibu. Tapi sekarang, Ibu sudah tiada” ujarnya.
“Ah, maaf ya, Rin” ucap Dina.
“Tidak apa-apa. Bagaimana dengan kalian? Sukses?” tanyanya.
“Sukses banget! Hehehe, gimana, kita menepati janji kita kan?” balas Nia. Arin mengangguk.
Sepasang sahabat itu bercerita tentang pengalaman masing-masing. Sampai-sampai, mereka lupa dengan waktu. Begitulah, kisah perjalanan sepasang sahabat sejati. Yang telah diikiat dengan sebuah “gelang persahabatan”.

5 Komentar

Balas komentar
  1. Iya, aku juga pernah baca cerita di komik KKPK Next G yang agak mirip dengan cerita ini. tapi bukan bermaksud bilang kamu ngejiplak!!! Cerita persahabatan yang melibatkan “gelang” emang banyak, di komik hai, Miiko juga ada. Ceritanya bagus kok! 😀 :)) Aku suka cerita ini.

    Love,
    Akari Matsuke-chan.

Yuk tulis komentar kamu